Pendidikan merupakan proses tanpa akhir
yang diupayakan oleh siapapun, terutama (sebagai tanggung jawab) negara.
Sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan kesadaran dan ilmu pengetahuan, pendidikan
telah ada seiring dengan lahirnya peradaban manusia itu sendiri.
A. Di masa Klasik
Di masa klasik khususnya pada masa
penjajahan koloneal, partisipasi masyarakat tehadap pendidikan dibuktikan
dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat baik
secara mandiri maupun sharing dengan improvisasi pemerintah koloneal.
Keterlibatan partisipasi dan peran serta
masyarakat dalam melakukan kepedulian pada pendidikan dapat dijumpai pada
masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim karena memang masyarakat Indonesia terbanyak
adalah komunitas Islam. Jauh sebelum lembaga pendidikan sekolah atau madrasah
formal sebagaimana yang dijumpai sekarang, pada waktu itu masyarakat sudah
memiliki lembaga pendidikan seperti Surau, Meunasah, Rangkang, Langgar,
Mushalla, Masjid, Majlis Ta’lim, dan Pesantren. Lembaga-lembaga tersebut secara
keseluruhan dibangun atas dasar kemauan dan kesadaran masyarakat sendiri, dan
digunakan untuk kegiatan ibadah dan kegaiatan sosial keagamaan juga untuk kegiatan
pendidikan. Para tokoh pendidikan yang telah berhasil mendirikan lembaga
pendidikan dipelopori oleh ulama-ulama besar seperti; Prof. Hamka, KH. Abdullah
Ahmad, Sa’aduddin Jambek, Mahmud Yunus, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan,
KH. Imam Zarkasi, dan masih banyak lagi. (Abuddin Nata(ed.) 2001 : 6-100).Ini
membuktikan bahwa peran dan partisipasi masyarakat pada masa klasik telah mampu
mendirikan lembaga pendidikan atas dasar inisiatif dan kesadaran masyarakat
sendiri yang teropsesi semata-mata oleh panggilan agama dan perjuangan bangsa,
dan digunakan untuk kegiatan ibadah dan kegaiatan sosial keagamaan yang
endingnya bermuara pada kegiatan pendidikan.
B. Di masa Modern
Masa klasik diakhiri dengan proklamasi
kemerdekaan Indonesia, sejak dibukanya kran kemerdekaan kebebasan mayarakat
terbuka lebar dalam menyongsong, manata dan merekonstruksi nasib rakyat dan
semua sisi kehidupan bangsa terutama dibidang pendidikan, kesehatan, dan
ekonomi.
Di era awal masuknya masa modern tidak
semudah membalik telapak tangan, dengan bermudal kesadaran masyarakat dalam
memperjuangkan kecerdasan bangsa semakin gencar, lembaga-lembaga pendidikan
mandiri semakin bermunculan yang didirikan oleh masyarakat seperti TPA, Majlis
Ta’lim, Pondok Pesantren, dan kelompok diskusi lainnya. Bukan hanya pendidikan
non formal, akan tetapi juga pendidikan formal mulai tingkat dasar, sekolah
tingkat menengah/SLTP, sekolah tingkat atas/SLTA, bahkan perguruan tinggi baik
swasta lebih-lebih upaya pemerintah sendiri, ini secara bertahap telah berdiri
dan menyebar ke penjuru nusantara, dikuatkan dengan dua organisasi Islam besar
yang mempelopori masa kebangkitan bumi pertiwi ini, yaitu Nahdhatul Ulama dan
Muhammadiyah, ini menandakan bahwa kepedulian dan partisipasi masyarakat sangatlah
bertambah besar.
Pendidikan adalah ajang pertarungan
ideologis. Bangaimana bukan pertarungan jika pada kenyataannya apa yang menjadi
tujuan pendidikan berbenturan dengan kepentingan lain. Lembaga pendidikan
adalah wilayah diamana kesadaran diperebutkan oleh berbagai kepentinagan untuk
membebaskan manusia (peserta didik) dengan kesadaran dan dorongan untuk
terlibat aktif dalam aktivitas yang mengarah pada kemanusiaan, dengan
kepentingan utnuk menjadikan peserta didik hanya tunduk pada “kesadaran” yang
dapat melanggengkan sistem penindasan dan menjadikan peserta didik hanya
sebagai obyek dalam membangun budaya yang menguntungkan kekuasaan yang menindas
kemanusiaan (Nurani Soyomukti(ed.) 2010 : 59).
Manusia di negeri ini selalu dijauhkan
dari pendidikan dan di dekatkan pada metos, takhayul, dan sentimen-sentimen
kelompok sempit. Mekanisme penindasan yang dirempuh dengan jalan menjauhkan
masyarakat dari lembaga pendidikan, terbukti hanya anak-anak para pembesar dan
para konglomrat saja yang berhak memperoleh pendidikan tinggi, karena merekalah
yang menjalankan misi membodohi rakyat. Inilah fenomena yang telah terjadi
dimasa cikal-bakal era modern yang bertepatan dengan masa orde lama dan orde
baru, atas dampak benturan berbagai kepentingan politik nasib pendidikan
mengalami sandungan yang menjadikan tujuan cita-cita luhur mencerdaskan naka
bangsa selalu gagal.
C. Di masa Reformasi
Seiring dengan perubahan zaman, perubahan
politik, dan teknologi, nilai-nilai tanggung jawab masyarakat terhadap
pendidikan bergeser semakin berkurang, bahkan semakin mulai punah. Mereka telah
enggan memikirkan tentang pendidikan, tentang keberadaan, proses belajar, dan
tidak mau duduk beersama turut berembuk dan bermusyawarah bagaimana mencari
solulsi tentang peningkatan dan perkembangan pendidikan secara utuh. Masyarakat
tidak mau lagi mendonorkan dananya lagi untuk kepentingan pendidikan baik
secara langsung ataupun tidak lansung, semua urusan pendidikan telah dipasrahkan
penuh pada instansi pemerintah.
Betapa mengenaskan ! Dalam kaitan ini
mutu pendidikan juga berkaitan dengan pemerataan akses serta lemahnya alokasi
anggaran. Kedua hal itulah yang membuat pendidikan menjadi mahal, hingga otak
harus pindah ke dengkul, bukan di kepala. Pendidikan selalu dipercaya untuk
membentuk masyarakat agar dapat menjadi yang pribadi yang berpartisipasi dalam
pembangunan. Tapi, idealitas ini tanpaknya akan sangat jauh bila kita melihat
apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cita-cita untuk menciptakan
manusia yang lebih baik seakan hanyalah ilusi. Bahkan, kita gagap menghadapi
perubahan yang cepat. Dan pendidikan tidak dapat menjawab sama sekali
kecendrungan itu. Kebijakan pendidikan pemerintah justru membatasi akses rakyat
untuk mendapatkannya (Nurani Soyomukti (ed.) 2010 : 35)
Kebijakan pemerintah telah mempersempit
ruang gerak wewenang pengelola pendidikan, terkait dengan kehawatiran terhadap
penyalah gunaan wewenang pada hal-hal tertentu di lembaga pendidikan, semisal
dalam hal penggelapan dana bantuan, penganiayaan siswa/peserta didik, perilaku
kontraversi dengan norma-norma dan sebagainya. Sementara di sisi lain banyak
lembaga bermunculan dengan tendensi banjirnya aliran dana yang turun pada
lembaga pendidikan, atas dasar ini masyarakat tidak lagi merasakan karena
panggilan agama, masalah pahala telah jenuh, bahkan mereka sudah terjebak oleh
nilai-nilai kapitalis yang terangsang selalu ingin memperoleh penghasilan
sebanyak-banyaknya, tak terkecuali harus mengeruk keuntungan dari pendidikan.
Di era reformasi menghadapi era
globalisasi ini, diharapkan kesadaran dan semangat kepedulian tentang reformasi
pendidikan memenuhi kondisi masa depan yang dipersyaratkan masyarakat terhadap
pendidikan tetap kuat bergulir dan berperan mewarnai. Menghadapi era global
dimasa yang akan datang, diharapkan kesadaran dan partisipasi masyarakat tetap
mengalir, karena sampai kapanpun pendidikan sebagai suatu upaya menghadapkan
manusia pada realitas yang terus saja berubah, saat ini sangat diharapkan
perannya untuk mampu mengikuti arus zaman, bukan berarti untuk mengikis
kemanusiaan melainkan justru untuk menemukan kondisi air kehidupan yang
memungkinkan jiwa-raga bangsa berenang dengan indah.
Realitas global yang berkembang sekarang
ini adalah pendidikan itu sendiri dikatakan pendidikan, karena globalisasi
telah membawa doktrin yang membentuk masyarakat, peserta didik dan juga
pengajar tidak luput dari doktrin global. Singkatnya, sistem dan budaya
pendidikan yang berkembang juga telah terhegemoni oleh perkembangan globalisasi
(Nurani Soyomukti (ed.) 2010 : 43).
Meskipun
istilah Globalisasi telah begitu terkenal, dalam banyak hal awalnya hampir
tidak diperdebatkan ilmiah dan kritis terhadapnya, kecuali doktrin. Kalimat
yang paling akrab di telinga kita sebagai sering dipidatokan Soeharto dulu, dan
juga para politisi “Pro Globalisasi” mau tidak mau, suka tidak suka, kita tidak
bisa menghindar dari arus besar globalisai.... Masalahnya, bagaimana kita
menyiapkan diri untuk menghadapinya, agar bisa memetik manfaat dari arus besar
itu. Camkan.....
Ditulis : Drs. Moh. Sunarji (2012) - Download Versi PDF
0 comments :
Post a Comment